PARENTING ITU TENTANG TEGA

Dalam sekian obrolan kami berdua, mendapatkan banyak bahan obrolan terkait dengan seberapa kejam sang orang tua dalam mendidik anak anak mereka. Studi kasus, yang kami obrolin orang orang di sekitar kami saja. Mulai dari beberapa pasangan keluarga tetangga, keluarga yang masih dapat dikategorikan saudara, keluarga keluarga dari circle pertemanan dan berkomunitas, hingga bagaimana pada senior senior kami dalam mendidikkan kami, selaku anak anak mereka hingga sepupu sepupu kami dididikkan.

Ternyata banyak pula hal yang kami dapatkan dari obrolan itu. Berbeda bedakah ?, Jelas Berbeda. Dan itulah khasanah atau wawasan yang kami dapatkan dalam ngobrolin tentang tega dalam kepengasuhan / parenting. Menjadikan fokus obrolan itu kami hubung hubungkan dengan ajaran dan ilmu yang kami dapat dari Guru kami di Padepokan Margosari. Dimana beliau beliau mengajarkan kepada kami bahwa mendidik anak, ada masanya untuk kita orang tua berani mengambil langkah bijak dalam mengasuh, mendidik dan membersamai anak kita, yaitu masa TEGA dan TIRAKAT.

Kapan Masa Tega dan Tirakat itu Dilakukan

Obrolan kami pagi ini membuahkan sebuah kesimpulan sederhana tentang TEGA. Ternyata tanpa disadari banyak orang tua. Kita semua orang tua telah melakukan masa TEGA ini kepada anak kita sedari mereka masih balita. Semisal contoh, saat anak kita masih bayi dan masa mereka belajar berdiri kemudian berjalan, kita dapati mereka jatuh, terjatuh dan menangis. Sikap kita mendapatinya cukup dengan rasa iba, kasihan dan menolongnya. Akan tetapi, apakah kita melarangnya untuk tidak mencoba berdiri lagi?, tentu tidak Khan!.

Dengan penuh rasa kasih sayang dan dorongan motivasi optimisme, kita berujar kepada mereka sang bayi pembelajar tersebut dengan kata-kata menghibur dan meneduhkan. “Gak papa jatuh”, “Ayo Berdiri lagi!”, “Wuih anak mama, sudah bisa berdiri ya” dan lain-lain sebagainya. Setiap kata, frase dan kalimat kita sampaikan sebagai pendorong untuk mereka Kembali belajar, mencoba dan berlatih berdiri. Mengapa itu kita lakukan?, Kok TEGA?, Apakah ini kejam ?

Ya. Pada fase dan masa ini kita ingat bahwa, itu semua tidak kita golongkan sebagai sebuah Tindakan yang TEGA. Karena kita punya alasannya, karena kita tahu akhir manisnya, karena kita anggap itu sebagai normal dan wajar, karena itu semua adalah tahapan wajib yang harus anak kita lalui, karena ini, karena itu, karena bla bla bla lainnya. Itu pun baru tentang belajar berdiri. Kita masih punya stok kurikulum tega berikutnya, mulai dari belajar jalan yang diiringi risiko terjatuh, belajar berlari yang berisiko koprol dan terluka, belajar tidur sendiri yang berbuah tantrum dan insomnia anak, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, inilah bukti bahwa kita pernah TEGA dalam mendidik anak.

Untuk yang tirakat, lain waktu kita diskusikan ya.

Kapan Rasa Tega ini Mulai Luntur dan Pudar

Masa masa kecil yang sebenarnya kita harus akui masa itu mereka, anak anak kita masih dalam massa yang terlemah, tidak berdaya, masih butuh dilayani dan dibantu oleh orang dewasa lain. Tetapi dimasa itulah kita terbukti menjalankan sekian ketegaan dalam mendidiknya. Dengan sekian alasan dan dalil Pendidikan, pembiasaan, pelatihan dan lain sebagainya. Intinya kita TEGA.

Kian tumbuh anak anak kita, kian besar dan kuat, beberapa hal tak lagi membutuhkan kita sebagai pembantunya, seperti misalnya : mereka sudah bisa makan sendiri, mereka sudah bisa mandi sendiri, pakai baju sendiri, membuat dan minum susu sendiri, dan sekian kemandirian yang telah mereka capai dan bisa, akibat dari Pendidikan kita dikala itu yang kita tega-tegakan demi tercapainya semua kemandirian ini. Kita bangga akan itu semua.

Kami berdua sepakat dengan kondisi dan keadaan ini semua. Akan tetapi disisi ini kami sekapat, di sisi lain kami menemukan sedikit kejanggalan tentang penggunaan rasa tega dalam pengasuhan. Semisal: di sekitar kami, suatu pagi kami mendapati seorang anak yang hendak pergi ke sekolah masih di suapin oleh ibunya, padahal mereka sudah besar, berusia sekolah, bukan lagi anak balita. Kok disuapin, emang anaknya yang nambah besar tidak lagi bisa makan sendiri seperti kemarin saat dia dilatih makan sendiri.

Di tempat lain kami mendapati seorang anak yang sedang duduk manis di atas kursi, sedangkan sang ibunda, sambil berjongkok di bawahnya, sibuk memasangkan dan mentali tali sepatu sang anak kesayangannya itu. Tak selesai dengan hanya itu, sang ibunda pun ditanya oleh anaknya, apakah semua buku dan alat tulis sudah ibu masukkan dalam tas sekolahnya. Tidakkah ada yang terlupa. Dengan penuh senyum sayang ibundanya pun meyakinkan bahwa isi tas telah dicek ulang dan dipastikan semua terbawa. Kemudian mereka berdua, berpisah, saat sang armada penjemput siswa sekolah datang, dan terkadang pun tak jarang pula armada itu harus sedikit menunggu hingga sang anak kesayangan siap menaiki armada jemputan itu.

Tidakkah teman teman lain pernah menjumpai kejadian semisal itu?

Nambah satu lagi ya contoh kasusnya. Yang kali ini yang sangat lumrah dan lazim kita temui di keseharian kita setiap pagi. Yaitu orang tua tidak tega anaknya berangkat sendiri dan mandiri menuju sekolahnya. Mereka, para orang tua mengantarkan anak anak  mereka ke sekolah dengan berbagai moda, mulai dari sepeda motor, mobil pribadi hingga sopir pribadi. Sang anak tinggal duduk diam di atas moda, maka segera seketika itu, mereka mulai bergeser posisi menuju sekolahnya. Mungkin juga merasakan macetnya lalu lintas pagi, mungkin juga merasakan sesaknya udara untuk bernafas akibat polusi udara, dan sekian kesulitan, akan tetapi mereka tetap jadi penumpang. Duduk, diam dan sampai tujuan.

Di sisi lain, ada beberapa anak sekolah, yang dalam hal ini sering kali kami mengobrolkannya, yaitu anak anak tetangga kami satu perumahan dengan kami. Beberapa mereka ada yang oleh orang tuanya di lepas di depan rumah, dan mereka harus berjalan kaki keluar komplek perumahan untuk menuju halte armada feeder (Baca: armada pengumpan moda transportasi umum yang lebih besar, armada kecil yang memasuki area pemukiman yang lebih sempit dari jalan protocol). Sesaat mereka sampai di halte feeder, mereka akan bertemu dengan sekian banyak anak anak lain yang sedang menerima ketegaan orang tua mereka masing-masing. Untuk menuju sekolah.

Muncul tanya?

Apa alasan orang tua menyuapin anak mereka saat bersiap akan berangkat sekolah?

Apa alasan yang mendorong para orang tua untuk menata buku, bekal dan barang bawaan anak mereka, dan memastikan semua terbawa dan masuk dalam tas sekolah anaknya?

Apa alasan orang tua mentalikan tali sepatu anaknya, apakah anaknya tidak bisa?

Apa alasan orang tua mengantarkan anak anak mereka hingga sampai di sekolah, walau mereka sudah menjelang dewasa?

Ya ini semua masih bertanya. Adakah teman teman tahu dan paham jawabannya?

Di sisi lain pun kami mencoba bertanya.

Kok bisa tega, orang tua membiarkan anaknya makan belepotan, tergesa gesa dalam mengunyah makanan, hingga tak jarang mereka lupa minum. Kok tega ya?

Kok tega, ada orang tua yang hanya cengar cengir saja saat di curhatin anaknya, tadi pagi mereka dihukum di kelas karena mereka, sang anak lupa membawa prakarya atau buku tugasnya. Kok tega?

Kok tega orang tua, melihat anaknya terburu buru bersiap dan berlari berangkat sekolah, dengan tali sepatu yang hanya diselipkan di sela sela kaki dan sepatunya.?

Apa pula alasan orang tua mentegakan diri untuk melepas anak mereka naik angkutan umum, berdesak desakan menuju ke sekolah, tak jarang pula sang anak bercerita mereka ditinggal dan tidak termuat dalam angkutan umum, karena telah penuh sesak, dan berbuah hukuman karena mereka terlambat masuk sekolah ?

Bagaimana teman, terbayang khan ?  kok ya tega?

Buah Pembelajaran dalam Kemasan Ketegaan dalam Kepengasuhan

Dua hari ini kami sedang inten membahas tentang kompetensi dan kurikulum untuk sang jagoan. Hingga kami sampailah pada sebuah topik pembahasan Bersama, “Apa Manfaat Naik Angkutan Umum FEEDER ? dan Apa Essensi Pelajaran yang Didapatkan, serta Apa Hubungannya dengan Kesuksesan di Masa Depan ?”, pertanyaan itu kami lepas di meja makan tempat kami biasa ngopi pagi dan ngobrol bertiga, bahkan hingga larut malam.

Saya ulang ya

“Apa Manfaat Naik Angkutan Umum FEEDER ? dan Apa Essensi Pelajaran yang Didapatkan, serta Apa Hubungannya dengan Kesuksesan di Masa Depan ?”

Sebelum menjawab itu kami bercerita kepada Sang Jagoan tentang bagaimana kami, Bapak Ibunya dulu berangkat ke sekolah. Cerita dimulai dari Sang Ibu (Baca:Bu Bozz) bertutur tentang dahulu bagaimana beliau berjibaku bersiap diri untuk berangkat sekolah dengan menggunakan angkutan umum pedesaan “Kandang Macan”, sebuah sebutan yang disematkan kepada jenis kendaraan Pickup bak terbuka yang dimodifikasi dengan penutup bak dan ditambahkan kursi Panjang di dalamnya sebagai bangku duduk para penumpang, sehingga layak menjadi angkutan penumpang, tidak lagi angkutan barang.

Sang Ibu bercerita, untuk dapat menaiki sang kandang macan itu, mengharuskan untuk bangun pagi, segera bersiap, pakai seragam, sarapan dan bersepatu, kemudian bersiap di tepian jalan desa sambil menunggu angkutan kesayangan itu tiba. Celakanya kala itu, dengan jumlah armada yang tidak terlalu banyak, maka jikalau tertinggal satu kesempatan naik angkudes (Baca: Angkutan Pedesaan) itu, maka beresiko terlambat masuk sekolah. Sehingga kapan harus bersiap dan menunggu di tepian jalan, adalah factor kritis yang harus cermat diperhatikan. Terlebih akhir rute Angkudes Kandang Macan itu bukanlah depan sekolah, melainkan sebuah alun alun kota yang berjarak tidak lebih 1-2km dari sekolah. Yang mengharuskan jalan kaki sebagai rute selanjutnya. Jika kesiangan atau tertinggal angkudes yang pagi, maka tak jarang pula harus berlalu sejauh 1-2km tersebut dari alun alun ke sekolah, lari tanpa henti, dengan kekhawatiran akan terlambat masuk sekolah dan dihukum di depan kelas.

Cerita itu dibungkus oleh Ibunya dengan sebuah gambaran, apa saja yang harus dipikirkannya dulu, kala masih muda (baca: usia SMP) dan bersekolah dengan dinamika seperti tersebut di atas. Ibunya bercerita, bahwa sedari malam, semua barang bawaan, buku tulis, buku bacaan, buku tugas dan lain sebagainya, dipastikan selesai dan masuk dalam tas sekolah sesaat setelah jam belajar malam, atau sebelum tidur. Pagi hari, mengharuskan bangun pagi, segera mandi, berpakaian, sarapan dan bersepatu, dan segera menunggu angkudes datang. Semua itu dilakukan dengan sengaja, sadar dan menjadi sebuah rutinitas pagi sepanjang waktu sekolah.

Cerita lain datang dari bapaknya (baca:Pak Bozz). Dimana bapaknya tinggal jauh dari sekolah SMP nya, dan membutuhkan setidaknya 3 kali berganti moda transportasi umum. Selain jarak yang jauh antara rumah bapaknya dengan sekolahnya yang butuh waktu 45-60 menit menujunya, masih pula ditambah tantangannya dengan perbedaan jam masuk sekolah, dimana SMP bapaknya dulu, masuk sekolah Pukul 06.15 WIB untuk hari senin, dan Pukul 06.30 WIB untuk selasa hingga sabtu. Berbeda dengan kebanyakan SMP lain di daerah itu yang masuk sekolah pukul 07.00 WIB. Maka terlihat sudah, pukul berapa sang Anak SMP itu (baca:Pak Bozz), harus keluar rumah dan mulai rute berangkat sekolah, ya…. Pukul 5.30 WIB. Itu paling lambat dan paling siang. Seringnya berangkat di pukul 5.15 WIB atau bahkan pukul 5.00 WIB jika ada sesuatu yang harus dikerjakan sebelum jam kelas dimulai.

Apa yang didapat ?

Berangkat pagi buta, berjibaku dengan antrean calon penumpang lain dalam setiap haltenya, belum lagi pertimbangan daya tampung armada angkutan umumnya, jarak tempuh dan durasi waktu tempuh, kemacetan, hingga sekian dinamika perjalanan darat yang ada. Menjadikan sebuah rutinitas tersebut mengajarkan kepada kami semua tentang TIME MANAGEMENT.

Kami terpola dan terbiasa, berpikir mundur dari tujuan dan post akhir kami dalam menuju. Semisal, jika kami masuk sekolah pukul 6.15 WIB, waktu tempuh Bersama angkutan umum selama 1 jam, maka kami harus berangkat dari rumah Pukul 5.15 WIB, itupun masih kami harus menambahkan waktu cadangan, dimana apabila kami harus antree menunggu di halte dan resiko tidak termuat karena penuhnya daya tampung angkutan, maka kita mundurkan lagi jam berangkat kami, menjadi pukul 5.00 WIB.

Jika kami harus sudah mulai keluar rumah dan berangkat sekolah pada pukul 5.00 WIB, maka tentunya kami harus sudah mulai sarapan pukul 4.45 WIB, juga sudah berpakaian pada pukul 4.30. berarti kami harus sudah mandi dan bersholat subuh sebelum pukul 4.30, anggaplah mandi pukul 4.15 WIB, itu artinya kami harus bangun pukul 4.00 WIB. Dan dengan sadarnya, jika kami berkeinginan bisa bangun Pukul 4.00 WIB dengan kondisi prima dan tidak lemas atau loyo, maka kami harus tidur setidaknya 8 jam lamanya, berarti kami harus segera merebahkan diri di atas Kasur pada pukul 08.00 WIB malam sebelumnya. Yang itupun berarti bahwa, sepulang dari mengaji di surau pada waktu selesai sholat Isya’ maka hanya ada waktu yang bersisa tidak lebih dari 1 jam untuk menyelesaikan makan malam dan berkemas untuk bekal esok hari. Rumit bukan ?!.

Iya, mungkin sampai sini temen temen sudah mulai memahami apa yang kami maksud. Sebuah rutinitas yang kami jalani kala itu menjadikan kami terbiasa dan terpola dengan sebuah persiapan, perencanaan, pertimbangan resiko hingga belajar tentang konsekuensi yang timbul jika kami tidak mempersiapkan dengan baik sebelum itu semua terjadi.

Hanya karena kami terlambat tidur di kala malam, menjadikan terlambat bangun, menjadikan kami tergesa gesa dalam bersiap, menjadikan kami harus susah payah antree di halte angkutan umum, dan bermuara pada hukuman karena kami terlambat masuk sekolah. Nah, gara gara telat tidur, jadi di sekolah dihukum karena terlambat masuk sekolah.

Lantas Bagaimana dengan Ketidaktegaan

Teman, ini semua hanyalah renungan dan obrolan kami saja. Mungkin peristiwa saat ini, di tempat yang berbeda untuk keluarga lainnya, akan berbeda kondisinya. Itu mungkin saja. Jadi obrolan ini hanyalah sebagai penambah wawasan saja bagi kita semua. Ternyata hanya sekedar naik feeder saja, pembelajarannya sangatlah komplek. Tidaklah mampu dibungkus dengan kata “HANYA”, tapi ini semua pembelajaran rumit, kompleks dan essensial bagi kesuksesan masa depan anak kita, maka bagi kami selayaknyalah hal ini dijadikan bahan diskusi dan renungan kita Bersama.

Bukankah seandainya anak kita tinggal di Pinggiran Kota Semarang, dan dia ada rencana akan meeting penjualan bernilai ribuan dollar dengan mitra dagangnya di Orchad Road Singapura, dia harus memetakan, jam berapa janjiannya, berapa lama waktu tempuh Bandara Changi ke Orchad Road, berapa lama Airport Handlingnya, berapa lama waktu tempuh pesawat dari Semarang ke Singapura, jam berapa proses imigrasi di terminal keberangkatan internasional bandara, jam berapa harus sudah masuk Bandara A Yani Semarang, berapa lama waktu tempu dari rumah ke Bandara, apa saja yang disiapkan, presentasinya sudah siap apa belum, sampel produk sudah siap apa belum, hingga berapa lama waktu yang bersisa sebelum berangkat ke Singapura untuk sekedar ngobrol santai dengan anak dan istrinya. Dan lain sebagainya.

Inilah yang kami sebut

COMPLEX Time Management Workshop through Riding the Public Transport

Semoga bermanfaat.

3 November 2022

Ditulis dimeja kerja, buah dari obrolan meja makan dan jalan pagi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *