Banyak yang saya, kami pelajari selama mudik kemarin. Merupakan tanda tanya besar di benak saya apakah pernikahan yang sudah berlangsung berpuluh2 tahun tidak cukup membuat pasangan saling mengerti dan memahami. Ataukah karena sudah bertahun2 itu menjadikan manisnya sebuah hubungan menjadi terkikis hampir hilang. Tidak terlihat lagi sorot cinta yang saling terpancar di mata mereka. Tidak ada rasa cemas yang muncul saat pasangan terkena sakit dan musibah, biasa saja. Yang ada hanyalah kebiasaan, kesukaan pasangan menjadi sebuah beban dan menjadikan pasangannya menjadi tidak nyaman bahkan terganggu. Menjadikan kebiasaan pasangan itu seperti hal buruk yang baru saja muncul tiba2.
Keinginan pasangan diterjemahkan sebagai semaunya sendiri, tidak mau diatur, semakin tua semakin tidak bertoleransi dengan pasangan. Mendengkur menjadi semakin keras dan mengganggu tidur padahal itu sudah terjadi sejak bertahun2 lalu, maaf… buang gas jadi lebih sering, kencang, sembarangan dan berbau, jorok malas mandi, keras kepala, tidak mau diatur, gampang ngambek, lambat tidak bisa cepat, suka molor tidak tepat waktu, tidak peduli dengan kesulitan pasangan, cuek, banyak mengeluh, tidak mau berterus terang dan suka menyembunyikan masalah dll. Mendadak kebiasaan2 itu menjadi masalah yang besar dan sangat sangat mengganggu.
Ingatkah mereka bahwa yang ada di depan mereka sekaligus yang mereka cela kebiasaannya adalah orang yang dengan sadar telah mereka pilih sendiri berpuluh2 tahun yang lalu tanpa paksaan. Bukankah mereka memutuskan menikah karena jatuh cinta dengan orang yang dinikahinya satu paket lengkap dengan sifat dan kebiasaannya. Kenapa tiba2 itu semua menjadi masalah disaat mereka sudah berusia senja. Dimana seharusnya tingkah lakunya menjadi contoh kami yang muda ini untuk menjalani pernikahan yang InsyaAllah akan berlangsung berpuluh2 tahun ke depan. Menyimak cerita tangis dan tawa mereka. Kalau mereka sebagai panutan kami saja tidak menunjukkan kokohnya pernikahan yang sudah melewati badai dan topan, pahit dan manis bersama, lalu bagaimana dengan kami.
Apakah semua ini terjadi karena mereka kurang ngobrol, ditambah mereka berdua dipertemukan sebentar kemudian menikah. Setelah menikah tidak pernah benar2 meluangkan waktu untuk saling mengenal, mengerti pasangan masing2 karena mereka sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri2. Berangkat dan berpisah di pagi buta, pulang dan bertemu lagi saat sudah penat dan capek bekerja saat hari sudah gelap dan waktunya beristirahat mengumpulkan tenaga untuk berangkat di pagi2 buta lagi. Raga sudah di rumah, tapi pikiran masih terbawa pekerjaan di kantor. Belum lagi pasangannya yang sudah capek bekerja ditambah mengurus anak2 dan pekerjaan rumah yang tiada habisnya.
Jangankan meluangkan waktu untuk mendengar cerita pasangan, mencari waktu me time untuk merebahkan diri di kasur saja susah. Hasilnya mereka tidak pernah benar2 menghabiskan waktu ber 2 untuk benar2 mengenal satu sama lain. Hanya bisa menghabiskan waktu tiap weekend saja. Itupun mereka masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk yang belum sempat mereka kerjakan saat weekday. Belum lagi pekerjaan kantor yang di bawa pulang yang harus segera diselesaikan.
Disaat mereka tua, sudah purna tugas, mereka dipaksa untuk benar2 dirumah, benar2 harus bertemu pasangannya setiap saat. Bahkan hampir 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Menghabisan waktu hanya ber 2 tanpa anak2, seperti dulu lagi saat mereka masih pengantin baru sambil mengingat2 apakah dulu orang yang aku nikahi dan aku cintai yang ada di depanku ini punya sifat yang menjengkelkan seperti ini. Atau sifat ini muncul karena sudah berumur?
Harus menerima, bahwa teman satu2nya yang bisa diajak ngobrol hanya pasangan mereka, tidak ada yang lain, tidak ada anak2 yang bisa mereka ajak curhat tentang kejengkelan kepada pasangan sambil berharap sedikit dukungan dan pembenaran atas apa yang mereka keluhkan.
Sebuah pembelajaran buat kami, ternyata pernikahan yang sudah berlangsung lama tidak menjamin kita bisa benar2 mengerti pasangan kita masing2. Harus ada waktu yang rela mereka sisihkan dengan sadar untuk NGOBROL tentang mereka bukan membahas tentang orang lain. Jangan berharap bahwa pengertian akan datang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya sang waktu dan bertambahnya usia pernikahan.
Saat wajah tidak lagi cantik dan ganteng, saat tubuh tidak lagi seksi dan gagah, saat keriput sudah mulai bermunculan, jumlah rambut putih lebih banyak daripada yang hitam, saat badan sudah tidak lagi wangi parfum, tapi berganti bau balsam dan minyak angin, ditambah koyok yang ditempel di sana sini. Karena cantik dan ganteng akan hilang dengan munculnya keriput, seksi dan gagah akan hilang dengan kulit yang mulai mengendur tidak kencang lagi. Saat itulah cinta benar2 diuji.
Seharusnya kita sangat bersyukur tetap ada pasangan disamping kita apapun kondisinya. Ada tempat berbagi dan teman untuk menghabiskan secangkir kopi. Karena kita tidak pernah tahu kapan umur kita berakhir. Kapan Allah akan mencabut nyawa kita atau pasangan kita. Apakah masih banyak waktu untuk dihabiskan berdua menikmati kebersamaan. Karena saat itu semua tidak ada, pasti kita akan sangat merindukannya. Berbuatlah yang terbaik yang kita bisa agar tidak ada penyesalan dibelakang saat nyawa sudah dicabut karena kita belum berbuat yang terbaik untuk mereka.
Saya pernah di kondisi hampir ditinggal oleh suami, dan itu membuat saya selalu mengingatnya di saat ingin membantah dan melawan suami. Mungkin Allah menjadikan peristiwa itu sebagai pengingat saya untuk menghargai usia kami yang tersisa. Benar2 hanya Allah yang tahu kapan kita bisa berbahagia selalu didampingi pasangan. Tengoklah tetangga yang sudah ditinggal suami dan harus membesarkan 3 anak sekaligus, ditambah anaknya ada yang kondisinya spesial. Terkadang saya membayangkan jika itu saya alami, pasti saya tidak sanggup menjalaninya.
Semoga Allah mewafatkan saya dan suami bersama2 saat umroh dan saat ulang tahun pernikahan kami yang ke 100. Aamiin…