BERSAMA vs MEMBERSAMAI by Selfia Ety Foresti

BERSAMA vs MEMBERSAMAI by Selfia Ety Foresti

Dua kata yang mirip tapi mempunyai makna yang sangat berbeda.
*”Bersama”* yang berarti ada / hadir secara fisik dalam setiap aktivitas anak. Sedangkan *”Membersamai”*, kami artikan sebagai _hadir secara fisik, hati, pikiran dan perhatian untuk *benar2 terlibat* saat berada dan bersama anak dalam aktivitas2 mereka._

Ibarat sebuah rangkaian kereta, kecepatannya akan diukur dari kecepatan gerbong yang paling belakang. Disaat lokomotif kereta berjalan kencang, maka seluruh gerbong akan mengikutinya, begitu juga gerbong paling belakang.
Akan tetapi, jika lokomotif berjalan terlalu kencang dan gerbong dibelakangnya _tidak mampu lagi untuk menyesuaikan_ (red: mengikuti) kecepatan sang lokomotif, maka bisa berakibat terjadinya kereta anjlok atau tergulingnya gerbong paling belakang, ia akan keluar rel, dan akan menarik gerbong2 di depannya untuk anjok ( keluar rel ) juga, bahkan dalam beberapa kondisi, bisa berakibat fatal, seluruh rangkaian kereta akan terguling dan roboh keluar rel.
Maka *idealnya* sehebat dan sekencang apapun lokomotif bisa berjalan, maka kecepatannya harus diatur sedemikian rupa sehingga gerbong di belakangnya bisa menyeseuaikan (mengikuti). Dimulai dari perlahan, lebih kencang, kencang hingga seberapa kencang kecepatan yg dirasa cukup dan nyaman serta aman.

Dalam hal ini bisa diartikan lokomotif sebagai orang tua (biasanya ayah) dan gerbong paling belakang diartikan sebagai anak. Sering kali kami temui orang tua yang ilmunya tinggi, ikut seminar ke sana ke sini, belajar di sana sini, mengejar mimpi demi ambisi pribadi, sedangkan sang anak sangat tertinggal di belakang, seakan terlepas dari rangkaian, seakan terlupa dan tak dianggap utama. bahkan mungkin bisa dibilang tidak terurus. Bagaikan gerbong kereta yang anjlok atau terlepas sambungannya.

Bagi kami, untuk bisa melaju bersama, melangkah bersama, menikmati dan bahagia dalam prosesnya, kami belajar untuk menahan ego kami demi membersamai sang jagoan kami tumbuh. Ada satu hal (moment) yang selalu kami ingat dalam perjalan travelschooler kami yaitu saat kami pergi ke gunung Bromo.
Bagi suami saya dengan latar belakang seorang pecinta alam, sangatlah mudah baginya untuk naik sampai puncak kaldera Bromo. Menaiki gunung yang mempunyai tangga, rasanya bukan seperti naik gunung lagi. Bisa dibilang cukup mudah baginya. Berbeda halnya dengan saya yang baru pertama kali naik gunung, ini bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Apalagi untuk anak kami yang saat itu masih berumur 7 tahun. Apalah artinya naik sampai ke puncak, beliaupun pastinya tidak paham.

Maka disaat itu, ada banyak pilihan bagi kami. Naik kuda dari parkiran jeep terakhir sampai mendekati tangga, maka hampir tidak ada pembelajaran apapun yang bisa kami dapatkan di sana.
Bisa jadi, cukup suami saya yang seorang pecinta alam sajalah yang naik dengan cepat kaldera bromo (red: kesuksesan), maka tentu waktu yang dibutuhkannya menjadi sangat cepat untuk bisa naik dan turun kembali sendirian. Tapi bagaimana dengan saya dan anak kami??? Mungkin, dan bisa jadi saya memilih untuk menunggu di dalam jeep di parkiran, sedangkan anak kami lebih memilih untuk bermain pasir di sekitar parkiran jeep, sambil menunggu sang Ayah kembali dalam misinya.
Bisa jadi _cepat sampai ke puncak_, *cepat mencapai kesuksesan* tapi *SENDIRIAN,*, bukan *_KAMI_* _Sekeluarga_.

Skenario lain, bisa bisa saja. Suami saya akan memaksa saya dan anak kami untuk bisa naik dengan cepat, biar segera selesai. Tapi pasti prosesnya _tidak bahagia_.

Maka kami putuskan. Suami saya memperlambat langkah demi membersamai saya dan anak kami. Di sisi lain saya dan anak kami, berusaha sekuat tenaga untuk belajar banyak hal hal baru, hal hal yg pertamakali kami ketahui dan kami lakukan, hanya untuk bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Agar kami bisa mencapai puncak bersama dengan bahagia. Dengan cara :
Kami memilih berjalan dari parkiran hingga kaldera bromo. Berjalan sesaat, berhenti, membuat goa di tepian pasir, membuat tulisan dan gambar di dataran berpasir, 5 sampai 10 menit kita seperti itu, lalu jika kami rasa cukup, kami mengajak anak kami bergeser untuk membuat gua dan gambar di tempat lain, yang terkadang hanya berjarak tak lebih 20 meter dari titik gambar tadi, kami kembali berhenti, mencoret dan menggambar, 5 10 menit, geser lagi, 20 – 50 meter, berhenti lagi, gambar lagi, geser lagi, berhenti lagi, begitu seterusnya sampai kamimbertiga mendekati anak tangga di lereng kaldera utama.
Sesampainya di anak tangga, karena tidak memungkinkan untuk membuat gambar lagi. Kami mengajak anak kami menghitung anak tangga yang kami injak (lewati), dari angka 1 hingga angka 21, dimana angka 21 adalah tanggal lahirnya. Kami mulai menghitung, 1, 2, 3, 4,5…..10,11,.. 19, 20, 21…….. yeeeeey…. hore. Selamat ulang tahun yang ke 1. Sejenak mengatur nafas, setelah itu kami lanjut menuju tahun ke 2. 1,2,3,4,5……20,21, yeeeeeey selamat ulang tahun lagi. Hore….. kami bertiga bertepuk tangan dan teriak bahagia, sekarang adik sudah umur 2 tahun. Yeeeeeey.. selamat. Kembali disela sela tawa kami mengatur nafas untuk mempersiapkan diri untuk tahapan tahun tahun anak tangga berikutnya.
Tiap tahapan kami rayakan dengan tepuk tangan. Horeee…., ulang tahun ke 1, 2, 3, 4, 5, 6 dst. Hingga kami terlupa sudah usia berapa anak tangga sang jagoan kala itu. Sehingga yg tertinggal hanya teriakan, yeeeeeey selamat selamat, ulang tahun lagi,
Dan…….., Alhamdulillah, sampailah kami di puncak kaldera Bromo, *_Bertiga, Bersama dan Bahagia._*

Peristiwa itu menjadi pengingat kami dalam menjalani setiap permasalahan yang ada. Karena bagi kami, bersama saja tidak cukup, tapi sebagai orang tua, maka wajib untuk membersamai, hadir bersama hati, pikiran dan terlibat dalam setiap prosesnya. Dan yang paling penting buat kami adalah *_BERSAMA DAN BAHAGIA PENUH BERKAH._*

_semoga bermanfaat_
_Aamiin_

🌹🌷🌼 selesai 🌼🌷🌹—-

T e r i m a k a s i h 🙏

Ditulis oleh selfia ety untuk kelas berbagi di Institute Ibu Professional

Sumber Artikel
Author: Dutria Bayu Adi / Dutria Bayu Adi